A. Konsep Konservasi Lingkungan
Dalam sejarah kemanusian,
konservasi alam bukanlah hal yang baru, misalnya pada tahun 252 SM, Raja Asoka
dari India secara resmi mengumumkan perlindungan satwa, ikan dan hutan.
Peristiwa ini merupakan awal yang tercatat dari apa yang sekarang kita sebut kawasan
lindung. Pada sekitar tahun 624-634 M, Nabi Muhammad SAW juga membuat kawasan
konservasi yang dikenal dengan hima’ di daerah Madinah. Kemudian Tahun 1084 M,
Raja Wiliam 1 dari Inggris memerintahkan menyiapkan The Domessday Book yaitu
suatu inventarisasi tanah, hutan, daerah penangkapan ikan, areal pertanian,
taman buru, dan sumberdaya produktif milik kerajaan yang digunakan sebagai
daerah untuk membuat perencanaan rasional bagi pengelolaan pembangunan
negaranya.
1. Pengertian Konservasi Lingkungan
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan
sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan melalui proses
pelestarian. Sedangkan lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang
mencakup keadaan sumber daya alam, seperti: tanah, air, energi surya, mineral,
serta flora dan fauna yang tumbuh diatas tanah maupun di dalam lautan.
Dalam pandangan Islam, Konservasi adalah
amanah dari Allah untuk manusia. Manusia sebagai wakil Allah dimuka bumi
(khalifatullah fil ardh) harus memahami hubungan antara dirinya dengan Allah
dan lingkungan.. fikih ekologi merupakan konservasi lingkungan berbasis
syariat. Konservasi lingkungan bukan hanya bermotif penyelamatan dan
pemeliharaan lingkungan secara syar’i, namun lebih dari itu memiliki tujuan
spiritual, yaitu membangkitkan semangat beribadah kepada Allah melalui alam
sekitar.
2. Lingkup Konservasi Lingkungan
Lingkup
Konservasi lingkungan meliputi: konservasi tanah, konservasi daerah aliran
sungai, konservasi daerah pesisir dan laut, konservasi hutan dan konservasi
tipe ekosistem. Contoh upaya konservasi tanah adalah memelihara dan
mempertahankan produktifitas tanah agar dapat dipergunakan secara lestari dan
menerapkan pola tanam yang dapat mengurangi erosi. Upaya yang bisa dilakukan
dalam konservasi daerah aliran sungai dengan melalui pengendalian pencemaran
air, limbah rumah tangga, limbah industri,
dan lain-lain. Untuk konservasi daerah pesisir dan laut upaya yang
diperlukan antara lain adanya penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, baik
berupa perikanan, tambak, atau flora fauna. Contoh konservasi hutan adalah
menjamin pemanfaatan kayu dari hutan dan reboisasi. Adapun contoh upaya
konservasi tipe ekosistem adalah kegiatan pelestarian tumbuhan dan hewan.
B. Penyebab Kerusakan Lingkungan
1. Faktor Manusia
Kerusakan
lingkungan yang disebabkan kegiatan manusia jauh lebih besar dibandingkan
dengan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh proses alam. Kerusakan
lingkungan yang disebabkan oleh faktor manusia terjadi dalam berbagai bentuk,
seperti: pencemaran, pengerukan, dan penebangan hutan
Allah melarang
manusia untuk merusak lingkungan, meskipun manusia sebagai khalifah diberi
kuasa untuk mengelola dan memelihara alam. Kedudukan manusia dan alam semesta
adalah setara di hadapan Allah. Q.S Al-A’raaf ayat 56:
Yang artinya “dan
janganlah kamu membuat kerusakan dimuka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya
dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan
(akan dikabulkan), sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang yang
berbuat baik”.
2. Faktor Alam
Kerusakan
lingkungan yang disebabkan faktor alam pada umumnya merupakan bencana alam
seperti letusan gunung berapi, banjir, angin puting beliung, gempa bumi,
tsunami, dan sebagainya. Ada beberapa faktor lain penyebab keruskan lingkungan
antara lain:
a.
Pertambahan penduduk yang pesat
b.
Perkembangan teknologi yang pesat
c.
Kebijakan dan pengelolaan keanekaragaman hayati
d.
Perubahan sistem nilai budaya masyarakat dalam memberlakukan keanekaragaman
hayati
C. Dampak Kerusakan Lingkungan
Dampak kerusakan lingkungan
terhadap makhluk hidup semakin hari terus bertambah. Dampak tersebut berupa
penyakit dan berbagai macam permasalahan lain. Penyakit tersebut dapat langsung
dirasakan maupun penyakit yang timbul karena akumulasi bahan polutan dalam
tubuh manusia.
Akibat pencemaran lingkungan adalah :
1.
Punahnya spesies
2.
Perkembangan hamayang cepat
3.
Gangguan keseimbangan lingkungan
4.
Kesuburan berkurang
5.
Keracunan dan penyakit
6.
Pemekatan hayati
7.
Terbentuknya lubang ozon dan efek rumah kaca
D. Pandangan Islam Terhadap Konservasi Lingkungan
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad
SAW yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT (hablun minaallah),
mengatur dirinya sendiri, mengatur hubungan antar manusia (hablun minannas) dan
mengatur hubungan dengan alam (hablun minal ‘alam). Berkaitan dengan
ajaranislam yang mengatur hubungan manusia dengan alam, hal ini menjadi dasar
bagi tegaknya keseluruhan peradaban islam, termasuk penataan lingkungan.
Perspektif ini dibangun dari konsep tauhid dan ibadah. Konsep tauhid memberikan
cara pandang bahwa manusia, alam dan kehidupan diciptakan Allah SWT dengan
tujuan tertentu, seperti yang dijelaskan pada surat Al-Baqarah ayat 30.
Dalam kaitannya dengan penataan lingkungan, islam memandang bahwa sumber daya
alam adalah suatu karunia besar yang tidak hanya dapat dimanfaatkan oleh
generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Dalam kajian hukum islam,
menghuni bumi dan mengelola kehidupan dibumi membutuhkan tiga muatan hukum,
yaitu:
1.
Hukum rukun syari’at yaitu ketentuan-ketentuan Allah dan Rasul yang secara
jelas tertulis dalam al-qur’an dan al-hadist
2.
Hukum rukun fiqih yaitu hukum-hukum hasil pemahaman manusia yang
berkualitas, berilmu dan mampu berijtihad
3.
As-siyasah yaitu at-tadbir (pengaturan).
Berkaitan dengan rukun yang kedua yakni hukum rukun
fiqih, terdapat sejumlah ayat al-qur’an dan hadist yang terkait dengan
lingkungan, misalnya tentang air, tanah, bintang, dan tumbuh-tumbuhan,
diantaranya adalah:
1.
Q.S Al-Hajj ayat 65
2.
Q.S Al-Nur ayat 43
Adapun mengenai hadist Rasulullah SAW tentang peduli
lingkungan jumlah banyak sekali, diantaranya :
1.
Larangan menelantarkan lahan (HR. Imam Bukhori dalam kitab Al-Hibbah)
2.
Penanaman pohon (reboisasi) adalah langkah terpuji (HR. Imam Bukhori)
3.
Larangan membunuh anak burung (HR. Abu Dawud)
E. Institusi Konservasi Dalam Syariat Islam
1. Hima
Hima merupakan
kawasan yang harus dilindungi oleh pemerintah atas dasar syariat guna
melestarikan dan mengelola hutan dan semak belukar, daerah aliran sungai dan
kehidupan liar. Istilah hima diterjemahkan menjadi kawasan lindung , kawasan
konservasi : taman nasioanal, suaka alam, hutan lindung dan suka margasatwa.
Sebuah kawasan dapat menjadi hima bila memenuhi empat syarat yaitu:
a.
Ditentukan berdasarkan keputusan pemerintah
b.
Dibangun berdasarkan ajaran Allah SWT untuk tujuan-tujuan yang berkaitan
dengan kesejahteraan umum
c.
Tidak menimbulkan kesulitan bagi masyarakat sekitar
d.
Harus mewujudkan manfaat yang nyata bagi masyarakat
2. Iqta
Iqta merupakan lahan
yang dipinjamkan oleh negara kepada para investor dengan perjanjian kesanggupan
untuk mengadakan reklamasi. Oleh karena itu, dalam mengerjakan iqta harus ada
jaminan tanggung jawab dan keuntungan baik untuk investor penggarap maupun untuk
masyarakat sekitarnya.
Lahan yang digunakan
untuk iqta adalah lahan yang didalamnya tidak terdapat kepentingan umum,
misalnya sumberdaya air, kepentingan ekosistem, dan tidak menimbulkan masalah
baru bagi daerah sekitar pada masa pengerjaannya. Dalam kawasan tersebut tidak
boleh terdapat sumber daya mineral atau keuntungan umum lain yang seharusnya
dikuasai oleh pemerintah.
3. Harim
Harim merupakan zona
dimana pembangunan terlarang dilakukan atau sangat terbatas untuk mencegah
terjadinya kerusakan atau menurunnya manfaat dan sumberdaya alam. Biasanya
harim terbentuk bersamaan dengan keberadaan ladang dan persawahan, dan luas
kawasan ini berbeda dengan keduanya. Di dalam sebuah desa, harim dapat
difungsikan untuk menggembalakan hewan ternak atau mencari kayu bakar.
Unsur penting dalam
harim adalah adanya kawasan yang masih asli dan menjadi hak milik umum.
Pemerintah dapat mengadministrasikan atau melegalisasi kawasan tersebut untuk
keperluan bersama.
4. Ihya al-Mawat
Tanah sebagai unsur
lingkungan paling mendasar mendapat perhatian khusus dalam islam. Menghidupkan
(ihya) kawasan mati (al-mawat) merupakan anjuran kepada setiap muslim supaya
tidak adakawasan yang terlantar.
F. Peranan Manusia Dalam Konservasi Lingkungan
Ada dua fungsi utama
diciptakannya manusia yakni untuk beribadah seperti difirmankan Allah SWT dalam
surat Adz-Dzariyat ayat 56 dan sebagai khalifah dimuka bumi seperti yang
tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 30. Fungsi kedua dari manusia yakni sebagai
khalifah dimuka bumi artinya manusia bertugas mengelola semuayang ada dan telah
diciptakan Allah dimuka bumi, hal ini erat kaitannya dengan alam sekitar. Ada
beberapa kewajiban utama yang harus dilakukan oleh manusia terhadap alam
sekitar adalah sebagai berikut:
1.
Membangun Rasa Cinta Terhadap Lingkungan
2.
Menanam dan Memelihara Pohon
3.
Mengelola Sumber Daya Alam (SDA)
4.
Tidak Merusak Lingkungan
5.
Membiasakan Diri Ramah Lingkungan
POLITIK DAN CINTA TANAH AIR
DALAM PERSPEKTIF ISLAM
A.
Politik dalam Perspektif Islam
Politik berasal
dari kata yunani “Polis” yang berarti
kota. Secara secara sederhana, politik merupakan istilah
yang merujuk pada kegiatan mengatur pemerintahan suatu Negara. Politik sebagai
kata benda mencakup 3 pemahaman yaitu;
1. Pengetahuan
mengenai pemerintahan
2. Segala
urusan dan tindakan mengenai pemerintahan
3. Kebijakan
atau cara bertindak dalam menangani suatu masalah
Politik
adalah aktifitas atau sikap yang bermaksud mengatur kehidupan masyarakat.
Didalamnya terkandung unsur kekuasaan untuk membuat hokum dan menegakkannya dalam
kehidupan bermasyarakat yang bersangkutan (Salim,1994;291). Berdasarkan
pengertian ini maka dalam berpolitik terkandung tugas pemeliharaan
(ri’ayah),perbaikan(islah),pelurusan (taqwim),pemberian petunjuk(irsyad),dan
mendidik atau membuat orang menjadi beradab (ta’dib).
Dalam
islam, politik harus netral dari keinginan nafsu dan merupakan wujud fungsi
sebagai khilafah Allah. Karena itu, jiwa politik dalam islam adalah keikhlasan
dan keterbukaan, sebab dengan cara ini fungsi control terhadap aktivitas pemerintahan
akan berfungsi maksimal.
B.
Variasi
Pandangan Umat Islam Dalam Melihat Relasi Islam Dan Negara
Manusia
sebagai makhluk sosial membutuhkan Negara untuk melakukan kerjasama sosial
dengan menjadikan agama (wahyu) sebagai pedoman
1.
Tipologi
Relasi Agama Dan Negara
Berdasarkan pemikiran politik islam
modern, terdapat 3 tipologi relasi agama yaitu;
a. Tipologi
teo- demokrasi
Tipologi
teo-demokrasi menganggap bahwa agama sekaligus Negara, keduanya merupakan
entitas yang menyatu. Kelompok inidisebut juga islam politik (al-islam
as-siyasy) karena menganggap polotik sebagai bagian integral dari islam. Mereka
memandang islam sebagai suatu agama yang serba lengkap, termasuk ketatanegaraan
atau politik
b. Tipologi
Sekuler
Tipologi
Sekuler berpendapat bahwa agama bukanlah Negara. Negara adalah urusan dunia
yang mempertimbangkannya menggunakan akal dan kemaslahatan kemanusiaan yang
bersifat duniawi saja. Agama adalah urusan pribadi dan keluarga. Agama tidak
harus diatur Negara dan begitu sebaliknya.
c. Tipologi
moderat
Tipologi moderat (al-mutawassith)
mereka berparadigma substantivistik. Aliran ini berpendirian bahwa isalam tidak
mengatur sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika
bagi kehidupan ketatanegaraan, menurut kelompok ini tidak satu nash pun dalam
al-Qur’an yang memerintahkan didirikan sebuah Negara islam (iqbal &
nasution,2010:28-29). Mereka menolak klaim ekstrim bahwa agama telah mengatur
semua urusa, termasuk politik, dan menolak klaim ekstrim bahwa islam tidak ada
kaitannya dengan Negara atau politik.
2.
Negara
Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI)
Terkait dengan pemerintahan
Indonesia, NKRI dari sudut pandang agama adalah sah karena presiden Indonesia
dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana prosedur pengangkatan Ali RA menjadi
khalifah. Disamping itu, presiden dilantik oleh MPR, sebuah gabungan 2 lembaga
tinggi, DPR dan DPD yang dapat merepresentasikan ahlul halli wal ‘aqdi dalam
konsep al-mawardi dikitabnya al-ahkam ash-shulthaniya.
Empat pilar kebangsaan yang terdiri
atas Pancasila,UUD 1945,NKRI, dan bhinneka tunggal ika, sebenarnya merupakan
formulasi final umat islam Indonesia dari segala upaya mendirikan Negara dan
membentuk pemerintahan.
Empat pilar kebangsaan tersebut
selaras dengan prinsip-prinsip dasar politik islam. Prinsip-prinsip dasar dalam
politik islam meliputi;
-
Prinsip Amanah
-
Prinsip Keadilan
-
Prinsip ketaatan
-
Prinsip Musyawarah
C. Institusi Khilafah Dalam
Tradisi Politik Islam
Khilafah dalam bahasa arab berarti penggantian. Kata ini
mengingatkan orang pada kata khalifah yang ada dalam Q.S Al-Baqarah ayat 30.
Kata khalifah
dalam ayat tersebut berarti tidak mempunyai konotasi politik maupun negara,
melainkan bermakna wakil, pengatur, pengganti dan yang sejenis.
Khilafah merujuk pada
sistem pemerintahan islam pertama yang didirikan pasca wafatnya Rasulullah SAW.
Pemimpin dalam sistem ini disebut dengan khalifah. Sepeninggal Rasulullah umat Islam dilanda kepanikan. Belum terselesaikannya
permasalahan mengenai siapa yang layak menjadi pengganti Rasul nyaris merobek
kesatuan umat. Kaum Muhajirin sebagai orang-orang yang mendampingi Rasul sejak
semula berdakwah di Makkah merasa berhak mendudukkan pengganti Rasul dari
kalangan mereka. Sedangkan golongan Anshar merasa bahwa mereka lah penolong
Rasul dan pembuka jalan bagi keberhasilan dakwah Islam ke seluruh jazirah Arab.
Masing-masing pihak tidak mau kalah. Perselisihan diantara kedua golongan ini
berlangsung di Saqifah Bani Saadah yang nyaris membuat keduanya menghunus
pedang. Sementara itu Ali dan beberapa Ahlu Bait tidak tahu menahu
masalah ini. Mereka masih sibuk mengurusi jenazah Rasulullah yang belum
disemayamkan.
Masalah kepemimpinan memang masalah krusial dalam
tradisi Islam. Karena tidak adanya rumusan baku dalam teks-teks keagamaan
mengenai prosedur pengangkatan pemimpin, menjadikannya lapangan pertarungan
pemikiran diantara umat Islam sendiri. Kenyataan ini membuat sekte-sekte dalam
Islam saling bersaing memperebutkan monopoli tafsir terhadap diskursus ini,
masing-masing dengan persepsinya sendiri mengenai landasan-landasan kewenangan
seorang pemimpin dan batas-batas ketaatan individu terhadap pemimpin.
Terpilihnya Abu Bakar sedikit meredakan tensi yang
sempat memuncak diantara kaum Muslimin. Pribadi Abu Bakar yang memukau dan
salah satu orang terdekat Rasulullah membuat umat Islam legowo untuk
menerimanya sebagai pemimpin mereka. Keadaan ini berlangsung hingga akhir
pemerintahan Utsman. Pasca kejadian terbunuhnya Utsman, benih-benih
perselisihan kuno yang tadinya sempat teredam, muncul kembali dan mencapai
titik kulminasi pada masa Ali, tepatnya setelah peristiwa tahkim. Di
sinilah akumulusi berbagai kepentingan individu, golongan, dan dibungkus
dengan interpretasi sepihak doktrin-doktrin keagamaan terkumpul dan digunakan untuk
meraih kekuasaan.
Khilafah
Terma khilafah merujuk pada sistem
pemerintahan Islam pertama yang didirikan pasca mangkatnya Rasulullah. Pemimpin
dalam sistem ini disebut khalifah, berasal dari akar kata kh-l-f, y-kh-l-f yang
bermakna pengganti (suksesor). Pada awal mula penggunaannya, kata ini disambung
dengan khalifah al-Rasul (pengganti Rasulullah), untuk merujuk kepada seseorang
yang memimpin kaum Muslimin menggantikan Rasul, namun pada perkembangannya
kemudian disebut dengan khalifah saja. Terma khilafah sendiri sebenarnya
sinonim dengan imamah. Namun dalam penggunaannya, kedua terma tersebut
merupakan dua konsep yang berbeda yang digunakan oleh sekte yang berlainan
pula. Terma khilafah seringkali digunakan oleh mayoritas ahlus sunnah
sedangkan kalangan syiah lebih akrab menggunakan kata imamah untuk
menunjukkan konsep mereka dalam hal kepemimpinan.
Ayat-ayat Al-Quran yang lazim digunakan sebagai
basis konsep khilafah, diantaranya adalah:
“ Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu
dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa (khulifa) dimuka
bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan
sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk
mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam
ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada
mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir
sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS. An-Nur 55)
Kata khulifa dalam ayat diatas dimaknai
sebagai suksesor dan seseorang yang memimpin menggantikan Nabi. Dan juga ayat;
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha
Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah
Allah dan ta'atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS An-Nisaa 58-59)
Kedua ayat diatas, oleh Ibnu Taimiyah dipakai
sebagai landasan pokok dalam bukunya As-Siasah al-Syariah yang
mengelaborasi ayat 57 sebagai kewajiban pemimpin terhadap rakyatnya agar
melayani rakyat dengan memegang teguh ‘amanah’ yang telah diberikan oleh mereka
dan menegakkan ‘keadilan’ dalam segala bentuk hukumnya. Sedangkan pada ayat
berikutnya, menurut Ibnu Taimiyah ditujukan kepada rakyat supaya menaati Allah
dan Rasul-Nya dan pemimpin yang sudah mereka tetapkan sendiri, dengan catatan
tidak menyimpang dari hukum Tuhan.
Kedua ayat diatas menyimpulkan dasar-dasar umum
yang harus dipegang dalam tradisi politik Islam. Mayoritas ulama Islam sepakat,
bahwa menegakkan khilafah, dalam artian kepemimpinan Islam hukumnya wajib,
karena hal tersebut diandaikan dapat mempersatukan dan mengurusi perkara kaum
Muslimin serta menegakkan hukum-hukum Tuhan di dalamnya. Itulah mengapa banyak
sekali sarjana Islam yang menekankan pentingnya memiliki pemimpin dan hanya
membolehkan diangkatnya satu pemimpin dalam pemerintahan Islam. Al-Mawardi,
Ibnu Hazm, Qadhi Abdul Jabbar adalah beberapa sarjana yang menentang keras
adanya dua atau lebih pemimpin dalam masyarakat Islam.
Menurut Hamid Enayat, setidaknya ada 3 hal pokok
yang menjadi kepedulian para sarjana Islam dalam memotret masalah kepemimpinan
dalam Islam yaitu; hak untuk memilih penguasa, prosedur pelaksanaan pemilihan,
dan hak untuk melakukan pemberontakan terhadap keadilan yang
diperankan penguasa.
Hak untuk
Memilih Penguasa
Salah satu permasalahan utama dalam pemilihan
pemimpin dalam Islam ialah kepemimpinan berasal dari suku Quraisy yang berdasar
dari hadist Nabi; ‘Imam itu dari Quraisy’, dan ‘manusia itu mengikuti Quraisy
baik dalam kebaikan maupun keburukan’. Hadist tersebut menimbulkan kontroversi
dikarenakan muatan tekstualnya yang cenderung menonjolkan superioritas satu
suku (Quraisy). Para cendekia Muslim berbeda pandangan dalam hal ini. Bagi
mereka yang menolak pemaknaan tekstual, mengajukan landasan argumen bahwa
hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa kepemimpinan selain suku Quraisy adalah
tidak sah. Salah satu sarjana yang berpendapat demikian ialah Al-Mawardi
yang menulis bahwa khalifah harus Quraisy .
Tetapi apabila seorang pemimpin non-Quraisy dapat
melaksanakan pemerintahan dengan baik, maka tidaklah diperlukan imam dari
Quraisy. Karena berdasarkan ayat ‘ inna akramakum indallahi atqaakum’
dan hadits ’tidak ada keutamaan arab atas ajam kecuali dalam hal takwa’,
menunjukkan bahwa ketakwaan dan kecakapan dalam memimpinlah yang dijadikan
pertimbangan dalam memilih seorang pemimpin, dan bukannya berdasarkan keturunan
darah saja.
Sedangkan kaum reformis kontemporer mantap
meniadakan syarat tersebut (imam dari Quraisy) dengan beralasan bahwa
hadits-hadits tersebut menunjukkan pemberitahuan (ikhbar) bukan hukum
atau perintah. Hadist itu seperti halnya hadist 'kekhilafaan setelahku 30 tahun......'
yang tidak memuat adanya perintah, namun sebagai kabar kejadian di masa
mendatang. Beberapa pemikir yang mengamini gagasan ini diantaranya, Muhammad
Abu Zahra, Mahmud Abbas Aqqad dan Dr. Ali Husni . Sementara mayoritas fuqaha
klasik memandang bahwa perlu disyaratkannya nasab Quraisy dalam konsep imamah,
dengan pertimbangan dhohir teks hadits tersebut menunjukan akan hal itu
dan tidak ada tafsir lain yang menunjukkan akan makna selainnya. Namun meski
demikian mereka (fuqaha klasik) juga membolehkan kepemimpinan
non-Quraisy dengan dua syarat. Pertama, tidak ada suku Quraisy yang mampu
memegang tampuk imam. Kedua, jika imam non-Quraisy tersebut memerintah dengan
adil dan tidak keluar dari koridor syar’i.
Prosedur
Pelaksanaan Pemilihan
Dalam bukunya, Islamic Early Conquest, Fred
Donner berpendapat bahwa praktek standar Arab dalam masa awal kekhalifahan
masih mengikuti tradisi kuno pra Islam. Dalam tradisi tersebut dikatakan bahwa
pengangkatan pemimpin dipilih dari hasil musyawarah orang terkemuka dari kelompok
suku untuk menentukan pemimpin dari kalangan mereka sendiri. Lazimnya pemilihan
dalam tradisi Arab tidak berdasarkan garis keturunan saja, meskipun hal
tersebut masuk dalam kategori pertimbangan. Namun pertimbangan utama adalah
kecakapan dalam memimpin yang mampu memberikan perlindungan dan menegakkan
keadilan diantara mereka.
Argumen ini dikemukakan oleh kalangan Sunni yang
percaya bahwa pemilihan Abu Bakar adalah sah dan melalui standar prosedural
yang benar. Mereka lebih lanjut berpendapat bahwa khalifah idealnya dipilih
dalam pemilu atau berdasarkan konsensus masyarakat. Dari golongan sarjana
klasik, Abu Bakar Al-Baqillani dan Imam Abu Hanifah yang dapat digolongkan
mewakili pendapat ini. Keduanya mengatakan bahwa pemimpin kaum Muslimin tidak harus
dari golongan tertentu seperti Quraisy, tetapi hanya harus dari suara
mayoritas.
Bagi mayoritas Sunni, pemilihan pemimpin selayaknya
dilakukan melalui prosedur syura (konsensus) yang dilakukan oleh para wakil
rakyat dalam satu Majlis Syura (lembaga legislatif). Pentingnya hal ini
didasarkan pada teks Al-Quran “Dan mereka mendiskusikan urusan mereka melalui
musyawarah diantara mereka” (QS. 42;38) dan ayat “Berkonsultasilah dengan
mereka (rakyat) mengenai masalah mereka. Kemudian ketika kalian telah mengambil
keputusan, serahkanlah (urusan itu) kepada Allah”. (QS. 3:159)
Majlis Syura ini merupakan sarana untuk memilih
khalifah baru. Al-Mawardi menulis bahwa untuk menjadi pemimpin harus memenuhi
beberapa kriterria seperti; adil, memiliki kemampuan untuk membedakan mana
calon yang baik dan mana yang bukan, serta mempunyai kebijaksanaan dalam
memutuskan siapa yang paling baik dan layak menjadi khalifah.
D. Cinta Tanah Air
Menurut Islam
Cinta tanah air
merupakan tabiat alami manusia. Karena ditanah air itulah manusia dilahirkan
dan dibesarkan, dididik dan disayang.cinta tanah air menimbulkan nasionalisme
yaitu kesadaran dan semangat cinta tanah air.
Kecintaan
terhadap tanah air akan menimbulkan sikap patriot, yang berarti sikap gagah
berani, pantang menyerah dan rela berkorban demi bangsa dan negara. Perwujudan
sikap patriotisme dapat diwujudkan dengan cara menegakkan hukum dan kebenaran,
memajukan pendidikan, memberantas kemiskinan, memelihara persaudaraan dan
persatuan. Semangat cinta tanah air dapat diterapkan dilingkungan keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Cinta tanah air tercantum dalam Al-Qur’an yaitu pada
surat: Q.S Hud ayat 61, Q.S Al-Baqarah ayat 144, Q.S Al-Baqarah ayat 126, Q.S An-Nahl
ayat 123, Q.S Ali Imran ayat 95, Q.S Al-Mumtahanah ayat 8-9, Q.S An-Nisa’ ayat
59, Q.S Al-Maidah ayat 90, Q.S Al-Hujurat ayat 13, Q.S Al-Isra’ ayat 32.
Ajaran untuk
cinta tanah air sesuai dengan isi pesan dalam 4 pilar kebangsaan yaitu:
1.
Pancasila
2.
UUD 1995
3.
NKRI
4.
Bhineka Tunggal Ika
Comments
Post a Comment